BramaDipo: Agustus 2014

Sabtu, 23 Agustus 2014

Budi Berakar Tanah

Bunga yang paling indah-pun berakar tanah.
Meski menempel pada badan dan kulit yang bukan miliknya.

Berusaha menjadi baik-pun tak ada salah.
Meski berkelok mendaki dan kerikil membuat luka yang selalu ikut serta.


Budi baik belum tentu berbalas kebaikan.
Bersabarlah, tersenyumlah.










11

Selasa, 19 Agustus 2014

Tari Kuda Lumping


Kenduri negeri bermasalah,
Hilang bentuk hilang arah.
Nusantara gonjang ganjing,
Tari-kan tarian kuda lumping.

Sekam menyekam dalam-dalam.
Menghitung detik-detik bergulir.
Bergelora dengan diam.
Menanti angin semilir.

Mentari sudah condong di barat,
Hitam-pun memeluk jagat.
Sang rembulan datang terlambat,
Separuh bulat cahaya yang terlihat.

Jelata dipinggiran tak bersuara,
Saksikan punggawa bermain drama.

Gelap semakin merapat,
Sisakan putih di sudut barat.

Kuali sudah tak berisi,
Perut semakin penuh dengan imaji-nasi.

Berharap pada para pemimpin negeri,
Suburkan kembali sawah ladang kami.

Jika memang tak ada lagi adil,
Siap tak siap harus siap hadapi bedil.





Jumat, 15 Agustus 2014

Nyamuk Nyamuk

Nyamuk bergilir gerogoti darah,
Seperti telah lama menyimpan amarah.
Tunggu menunggu adanya celah,
Mari-mari aku telah berserah.

Nyamuk gendut terbang perlahan
Lalu hinggap pada tetumbuhan.
Berat membunuhnya perlahan,
Bersama darahku yang telah dikandung badan.

Nyamuk-nyamuk hidupmu untuk mati kemudian,
Maka kuucap terimakasih telah memberi gatal dan kesabaran.
Kini mohon izinkan,
Lelah badan kurebahkan.

Jika esok nafas masih dapat kuhela,
Kupersilahkan kau kembali bersuka ria.
Maafkan aku,bidari mimpi telah menggapai mata.
Sampai jumpa.









Minggu, 10 Agustus 2014

Cahaya Telanjang #BatPoet


Senja berada di akhir,
Malam segera bergulir.
Rindu ditelanjangi cahaya sempurna cermin semesta.
Adakah juga kau merindukannya?

Bernyanyi, menari, membaca syair spontan pantulan sinar rembulan.
Lalu menitikkan air di mata, saat purnama berada pada puncaknya.

Menjadi kecil saat semesta menunjukkan kebesarannya.
Menjadi tak berarti saat semesta memperlihatkan makna kekuasaannya.

Purnama ini kita tak sedang bersama,
Cukup mengingat sementara.
Semoga angin siapkan rencana,
Menabrakkan arah kemana semesta bawa.

Lau kita-pun bersenggama,
Seperti sungai bersilangan.
Melahirkan alur-alur baru,
Yang tenang ke hulu dan yang deras ke hilir.

Lalu menyebrang di anakan yang jernih, tenang dan menyenangkan,
Menuju bebatuan tempat kita saksikan arus deras dan menghanyutkan

Mengumpulkan pecahan batu yang terpahat arus,
Entah telah berapa ratus tahun menempanya.
Bentuk-bentuk yang ganjil dan kita hanya bisa menerka-nerka.

Ada berbentuk hati, ada yg berbentuk tahi.
Lalu melemparkannya ke tengah arus,
Ber-angan air menempanya kembali menjadi bentuk lain.

Ya,aku merindukannya.
Bluemoon waktu itu.
Beberapa tahun lalu,dibulan-bulan ini.

Arak yang kuteguk,
Asap yang kuhisap,
Liur yang memudar,
Tawa yang kujejal.

Malam itu kita bergantian bisik, kepal dan teriak dalam satu lingkaran.
Perjumpaan yang sejenak,
Namun jeda menindih memakna.

Kuingat.
Kuingat.
Kuingat.
Selalu kuingat

"Purnama yang kita puja bersama."

Semoga nyawa masih ada dan jiwa masih memiliki asa saat purnama di kemudian masa kita bersenggama disaksikan semesta.





Kamis, 07 Agustus 2014

Setengah Sempurna

Bulan beranjak naik dengan cahaya setengah sempurna.
Gelap di langit semakin menampilkannya, Bersama kilauan bintang gemintang yang penuh pesona.
Mentari, Mentari, Bayanganmu masih dapat kunikmati.
Melalui pantulan rembulan yang tengah berseri.

Dan lukisan ini akan kubawa kedalam mimpi.
Berharap bahagia menyerta hingga fajar hari.


Semoga.










11



Senin, 04 Agustus 2014

Sayang, Matilah.

Teko berisi rindu telah kutuang kedalam cangkir kertas buram.
Tumpah dengan penuh sesal serta air muka muram.
Lalu mengering bersama sumpah serapah yg menyisakan lelah.

Sayang,
Sayang,
Matilah.

(Segera).