BramaDipo: September 2018

Rabu, 26 September 2018



Telah petang.
Burung senja bersahutan.
Nyalakan lampu kota,
Bersama masa peralihan dan jeda.


~ Aku pulang.

Minggu, 09 September 2018

Lempake, 2009.




Sesaat sebelum mendung yang datang seketika tanpa aba-aba.
Terkunci atas kehendak sendiri.
Menghadap barisan dinding.
Yang memantulkan gema teriakan dari kedalaman hati.

Tangisan yang mendendam.
Menghantui perjalanan kemudian.
Gelap yang menyilaukan.
Menghempaskan ingatan perlahan.

Aku melihat diriku terjatuh.
Menggapai cadas bebatuan rapuh.
Aku memanggil.
Aku menggigil.

Hujan bulan oktober mengiring.
Menemani dua musim dan tak sedikit-pun berpaling.
Meski kemudian aku beranjak.
Memberi jeda dan jarak.

Dewi ketulusan.
Ada dan tersimpan dalam laci ingatan.

Terima kasih atas hangat warna cahaya yang kau jaga.

Minggu, 02 September 2018

Berubah




Kaum kusam-kaum kasim.
Lelah mendendam didalam bathin.
Menghalau resah.
Menumpahkan serapah.
Berharap alam memberi hadiah.
Meski hanya segenggam tanah.
Meski harus teteskan darah.


Sebab sementara hanyalah dukha.
Ada-nya.


Sabtu, 01 September 2018

Tonggeret



Seperti komplotan tonggeret.
Pekakkan telinga dengan nada-nada yang itu-itu saja.
Mengkebiri nada-nada yang bukan dari musiknya.
Bersembunyi dalam gelap-rimbun pepohonan sebagai penjaganya.

Parasit yang tak menguntungkan.
Membunuh sedari daun hingga ke akar.
Memulai keributan lalu berkeras ada yang tengah membangun kekacauan.
Menceritakan kabar burung, sedang burung adalah peliharaannya.
Berteriak mengenai kesetaraan sambil berdiri diatas kepala saudaranya.
Tangan kiri mengusung bendera persatuan dengan pedang ditangan kanan.








Drama Dua Cermin



Panggung tampilkan lakon tanpa peran.
Hanya sekedar isi ruang.
Babak tanpa akhiran.
Kekacauan tanpa pahlawan.
Kaburkan episode episode berskenario.

Drama dua cermin,
Masa Rama menculik Dewi Shinta.
Masa punakawan jadi raja-raja.
Dan pandawa menjadi penggembira.

Dukha,
Saharsa.
Gantya.