BramaDipo: Oktober 2016

Minggu, 16 Oktober 2016

Anak Panah

Anak panah yang menyimpang.
Angin yang bersalah.
Tidak.
Hanya kebodohan yang singgah.

Membiarkan gelap.
Menyetubuhinya.
Mematikan rasa.
Mengulang jeda.

Abu menumpuk dalam asbak.
Puntung berceceran.
Kepalaku penuh kopi.
Telingaku dijejali Frank Zappa.

Apakah malam ini purnama?
Aku tak sedang menghitungnya.
Apakah aku mengingat harapanku tentang masa depan?
Aku tidak ingat.

Terpaku pada persimpangan.
Ditengah hutan.
Tanpa arah dan angin.
Tanpa langkah dan ingin.

Menunggu.
Menunggu.
Menunggu.
Dan Membiarkan waktu berlalu.


Keangkuhanku memasuki hutan.
Menganggapnya adalah hutan yang sama dengan hutan sebelumnya yang pernah aku lalui.
Kini ia menggerogoti.
Menjadikannya hantu.
Mengubahnya menjadi ragu.
Kaku.

Jeda yang terlalu lama,
Persetan.
Aku akan melangkah lurus kedepan.
Bukan kiri atau kanan.

Lebih baik aku mati dalam langkah keputusan.
Daripada menunggu dalam ketidak-pastian.

Aku adalah anak panah yang terbang bersama angin.
Aku menuju arah yang aku mau dan ingin.
Aku adalah anak panah yang melesat, meski berbelok dan tersesat.